Al-Haddad
Biografi dan Arti Gelar Leluhur Alawiyyin
Al-Haddad
Diantara keturunannya generasi yang ke-31 adalah. Waliyyul loh
Al-Habib Abdulloh bin Alwi Al-Haddad, yang tersohor dengan “Rotib-Al-Haddad”nya.👳Al-Habib
Abdulloh bin Alwi Al-Haddad bersaudara dengan 👑Waliyyulloh
Al-Habib Umar bin Alwi Al-Haddad.
Kedua-duanya
tidak pernah datang ke Indonesia. ➰Yang menurunkan
keturunannya di Indonesia adalah anak cucunya generasi ke-33.➰Keturunan❤Al-Habib
Abdulloh bin Alwi Al-Haddad yang berada di Indonesia kebanyakan berada di
Jawa-Timur.
➰Sedangkan
keturunan 👳Al-Habib
Umar bin Alwi Al-Haddad yang berada di Indonesia kebanyakan berada di
Pasar-Minggu Jakarta (termasuk diantaranya Al-Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad,
yang di makamkan di empang Bogor, Habib Kuncung Kalibata ).
=======
Keturunan Al-Habib Abdulloh bin Alwi Al-Haddad
Al-Qutb Al-Ghouts Al-Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad ( KRAMAT
SANGENG )
Beliau adalah Keturunan Al-Qutb Al-Ghouts Al-Habib Abdullah bin
Ali Al-Haddad, seorang putra yang sungguh-sungguh ahli ibadah, tampak di
wajahnya cahaya yang bersinar; (yaitu) cahaya ulama salaf, (la seorang) dai
yang akan menggantikan kedudukan salafnya.
Dalam kunjungannya ke Nusantara di sekitar penghujung tahun
2010, yaitu dalam sebuah kesempatan majelis rauhah di Jakarta, Habib Salim bin
Abdullah Asy-Syathiri menyinggung sebuah qashidah panjang yang ditulis oleh
Shohiburrotib, Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Bait-bait qashidah nan indah
itu keseluruhannya berakhiran huruf "ta" dan merupakan qashidah yang
teramat mulia. Karenanya, qashidah itu kemudian disebut qashidah ta-iyyah
al-kubra.
Habib Salim menuturkan, qashidah tersebut menyimpan kandungan
makna yang sangat dalam dan agung. Sehingga dikatakan, tidaklah sanggup
mensyarahi kandungan isi qashidah tersebut kecuali orang-orang yang sudah
sampai pada maqam Syaikh Muhyiddin Ibnul 'Arabi, salah seorang sufi besar dalam
dunia Islam, yang dikenal banyak memiliki karya-karya tasawuf dalam pembahasan
yang sarat makna, filosofis, tajam, dan mendalam.
Apa yang disinggung Habib Salim tersebut mengingatkan kita pada
sosok seorang ulama yang memiliki keterkaitan kisah dengan gashidah itu, yang
sang penyusunnya sendiri pernah mengatakan terkait qashidah tersebut,
"Kelak qasidah ini akan disempurnakan oleh salah satu keturunanku, dengan
satu bait."
Memang, qashidah yang pada awal-nya berbunyi "Bu'itstu
lijiranil 'aqiqi tahiyyah, wa awda'tuha rihash shaba hina habbat…" itu
nyatanya berjumlah 249 bait, jumlah angka yang terkesan tak sempurna. Berbeda,
misalnya, bila berjumlah 250 bait. Namun, tentu ada saja hikmah di balik
tindak-tanduk seorang kekasih Allah, yang kita hanya bisa mereka-reka. Di
antaranya, mungkin saja itu adalah salah satu isyarat yang ingin disampaikan
oleh shahiburratib tentang keutamaan salah seorang keturunannya.
Di masa Habib Abdullah bin Ali Al- Haddad, dialah yang kemudian
menggenapkan qashidah itu dengan satu bait penutup, "Wa aliri wa ashhabin
wa man kana tabi'an li minhajhim fi kulli haththin wa rihlah". Hal ini
menunjukkan bahwa keutamaan Habib Abdullah bin Ali Al- Haddad, jauh hari
sebelumnya, telah diketahui oleh sang datuk, Al-Habib Abdullah bin Alwi
Al-Haddad.
Kehidupan Habib Abdullah bin Ali Al- Haddad adalah kehidupan
yang penuh dengan keteladanan, di samping berbagai kisah kekeramatan, la, yang kelahiran
Tarim, Hadhramaut, menghabiskan masa akhir hayatnya di kota Bangil, Pasuruan,
Jawa Timur, yang kemudian jasad mulianya dikebumikan di sebuah desa di kota itu
yang bernama Sangeng. Itulah sebabnya di kemudian hari orang menyebutnya
"Keramat Sangeng".
Agar tidak rancu, sedikit kami jelaskan di sini. Antara dirinya
dan datuknya, Shahiburratib, memiliki nama yang sama, yaitu sama-sama Abdullah.
Ke-duanya juga sama-sama dari keluarga Al-Haddad, yang satu "bin
Alwi" (yang Shahiburratib) dan satunya lagi "bin Ali" (yang
manaqibnya tengah kita ulas kali ini). Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad adalah
keturunan keenam Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Berikut ini urutan nasab
yang menghubungkan keduanya, Abdullah bin Ali bin Hasan bin Husein bin Ahmad
bin Hasan bin Shahiburratib Abdullah bin Alwi Al-Haddad.
Kesungguhan dalam Ilmu dan Ibadah
Kesungguhan dalam Ilmu dan Ibadah
Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad lahir pada tanggal 4 Shafar
1261 H (sekitar Februari 1840 M) di kota Tarim, Hadhramaut. la diasuh dan
dididik dalam keluarga yang di dalamnya tercium semerbak aroma kewalian dan
keilmuan. Sejak kecil, ayahnya sendiri, yaitu Habib Ali bin Hasan Al-Haddad,
memberikan pendidikan kepadanya, terutama dalam menghafal Al-Qur'an.
la belajar beberapa cabang ilmu agama dari para ulama besar di
masa itu, seperti Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur (penyusun Bughyah
al-Musytarsyidin) dan Habib Umar bin Hasan Al-Haddad di Ghurfah, Habib Idrus
bin Umar Al-Habsyi di Seiwun, Habib Muhsin bin Alwi Assegaf dan Habib Muhammad
bin Ibrahim Bilfaqih di Tarim Dari guru-gurunya itu ia mempelajari ilmu tafsir,
hadits, fiqih, hadits, dan cabang-cabang ilmu lainnya, la juga banyak
memperoleh ijazah dan pengakuan dari tokoh-tokoh ulama serta ahli sufi di
zamannya sebagai bukti penguasaannya dalam ilmu syari'at dan hakikat.
Tahun 1281 H/1860 M ia meninggal-kan kampung halamannya menuju
kota Du'an untuk semakin memperdalam pengetahuannya. Untuk tujuan itu ia
mendatangi sejumlah ulama. Di samping itu ia juga menziarahi makam-makam ulama
dan shalihin, seperti Syaikh Sa'id bin Isa Al-Amudi.
Dari Du'an, Habib Abdullah melanjutkan perjalanannya ke kota
Qaidun dan belajar kepada Habib Thahir bin Umar Al-Haddad dan Syaikh Muhammad
bin Abdullah Basawdan. Di hadapan mereka ia membaca kitab Minhaj ath-Thalibin,
karya Imam Nawawi, dan mendapatkan ijazah beberapa cabang ilmu, seperti ilmu
manthiq, aqidah, dan ushul.
Pada tahun 1291 H/1872 M, ia menikah dengan Syarifah Aisyah
binti Hamid bin Alwi Al-Hamid, di Tarim. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai
lima anak: Alwiyah, Nur, Fatimah, Muznah, dan Hasan.
Meski telah banyak belajar ke sana-sini, bahkan juga telah
menikah, semangat belajarnya tetap besar. Tahun 1294
H/1873 M ia pergi ke kota Guwairah dan bertemu Habib Ahmad bin
Muhammad Al-Muhdhar (ayahanda Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar, Bondowoso).
la mempelajari sejumlah cabang ilmu pada derajat yang tinggi dan men-dapat
ijazah dari gurunya itu.
Pada salah satu muqaddimah ijazah tertulisnya, sang guru
menuliskan, "Aku memberikan ijazah kepada keturunan Al-Qutb Al-Ghauts
Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, seorang putra yang sungguh-sungguh ahli
ibadah, tampak di wajahnya cahaya yang bersinar, (yaitu) cahaya ulama salaf,
(la seorang) dai yang akan menggantikan kedudukan salafnya. Aku menganggapnya
sebagai anakku."
Kesungguhan Habib Abdullah bukan hanya dalam urusan menuntut ilmu, tapi juga dalam hal olah jiwa. Disebutkan, di masa mudanya ia tidak pernah meninggalkan rutinitas ibadahnya, yang wajib maupun yang sunnah. Dalam keadaan bagaimanapun ia tetap menjalankannya, seperti shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya.
Kesungguhan Habib Abdullah bukan hanya dalam urusan menuntut ilmu, tapi juga dalam hal olah jiwa. Disebutkan, di masa mudanya ia tidak pernah meninggalkan rutinitas ibadahnya, yang wajib maupun yang sunnah. Dalam keadaan bagaimanapun ia tetap menjalankannya, seperti shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya.
Suatu saat, kesehatannya terganggu, kondisi fisiknya pun
menurun. Namun berbagai kebiasaannya dalam beribadah sehari-hari tak berubah.
Melihat keadaan seperti itu, didorong rasa kasihan melihat
kondisi putranya, sang ibu pun berkata kepadanya, "Hai anakku, bila engkau
ingin kebaikan dan keridhaanku, taatilah perintahku." Demikian Ujar sang
bunda setelah memerintahkan Habib Abdullah untuk menurunkan intensitas
ibadahnya sejenak dan banyak-banyak beristirahat, mengingat kondisi
kesehatannya yang sedang sakit.
Setelah diperintahkan demikian oleh sang bunda, demi mengejar
ridha ibunya, ia pun akhirnya hanya menunaikan shalat fardhu dan rawatib.
Pada tahun 1295 H/1874 M ia berangkat ke Tanah Suci untuk
mengerjakan rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah haji, ke Baitullah, sekaligus
berziarah ke makam Rasulullah SAW.
Selama di Makkah ia tinggal di rumah Mufti kota Makkah, Habib
Muhammad bin Husein Al-Habsyi (ayahanda Shahib Simthud Durar, Habib Ali bin
Muhammad Al-Habsyi), sekaligus menyempatkan diri untuk mendalami ilmu-ilmu
agama kepada Habib Muhammad, la juga mendapatkan ijazah dari Sayyid Ahmad Zaini
Dahlan.
Usai tinggal beberapa lamanya di kota Makkah, ia menuju kota
Madinah dan tinggal di sana selama empat bulan.
Di Madinah ia menemui Syaikh Muhammad Abdul Mu'thi bin Muhammad
AI-'Azab, seorang faqih dan dikenal pula sebagai seorang pakar bahasa Arab,
pengarang kitab Maulid AI-'Azab.
Habib Abdullah meminta ijazah kepadanya, tetapi Syaikh AI-'Azab
tak mau memberikan sebelum ia diberi ijazah terlebih dulu oleh Habib Abdullah.
Maka Habib Abdullah kemudian memberikannya ijazah berupa wirid-wirid susunan
Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, lalu Syaikh Muhammad AI-'Azab pun memberikan
ijazah kepadanya.
Begitulah, hari demi hari kemuliaan Habib Abdullah semakin
terlihat. Itu semakin tampak ketika ia ditemui Sayyid Umar Syatha, mufti
Haramain. Diceritakan, Sayyid Umar mimpi berjumpa Rasulullah SAW dan
diperintahkan agar berziarah kepada Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad. "Dia
adalah cucuku yang sebenarnya," kata Nabi kepada Sayyid Umar Syatha.
Rihlah Dakwah
Pada tahun 1297 H/1879 M Habib Abdullah berdakwah ke tanah Melayu. Mula-mula ke Singapura, kemudian menuju Johor. Di Johor ia memperoleh sahabat, yaitu Syed Salim bin Thaha Al- Habsyi dan Sultan Abu Bakar bin Ibrahim (sultan Johor saat itu).
Pada tahun 1297 H/1879 M Habib Abdullah berdakwah ke tanah Melayu. Mula-mula ke Singapura, kemudian menuju Johor. Di Johor ia memperoleh sahabat, yaitu Syed Salim bin Thaha Al- Habsyi dan Sultan Abu Bakar bin Ibrahim (sultan Johor saat itu).
Pada waktu peresmian istana Sultan Johor ini, datanglah Sultan
Ahmad dari negeri Pahang yang mencari-cari diriya. Setelah bertemu, sang sultan
memintanya untuk menjadi mufti di negerinya. Namun permintaan itu ditolak
olehnya dengan baik dan bersahabat.
Habib Abdullah tinggal di Johor selama empat tahun dan menikah
dengan seorang syarifah dari keluarga Bin Syahab. Namun istrinya wafat tak lama
setelah mereka menikah.
Setelah empat tahun di Johor, ia meneruskan perjalanan dakwahnya
ke Pulau Jawa. Mula-mula ia tiba di Betawi, yang ketika itu masih dalam
pemerintahan Hindia Belanda. Tak lama di Betawi ia lalu meneruskan ke Bogor,
Solo, dan Surabaya, tetapi semua kota di Indonesia yang /disinggalhi dan
dilaluinya tak dapat menarik hatinya untuk menetap di tempat tersebut, walaupun
penduduk setempat meminta kesediaannya agar ber¬kenan tinggal di tengah-tengah
mereka.
Syawwal 1301 H/1903 M ia mulai menetap di kota Bsangil, Jawa
Timur. Di sinilah akhirnya ia memutuskan untuk tinggal dan berdakwah.
Tanggal 27 Jumadal Ula 1302 H/ 1903 M ia menikah lagi dengan
Syarifah Maryam binti Ali Alaydrus, seorang wanita yang dikenal
keshalihahannya. Di antara putra hasil pernikahannya dengan Syarifah Maryam
adalah Muhammad, Hamid, Ali, dan Umar.
Di rumahnya, ia membuka majlis ta'lim di Masjid Kal ianyar. Di
antara muridnya, ada yang kemudian menjadi ulama di kemudian hari, seperti Kiai
Zayadi, Kiai Husain, Kiai Musthafa, Kiai Asyiq, serta Kiai Muhammad Thahir dari
Bangku, Singosari. Disebutkan, Kiai Cholil Bangkalan dan Kiai Hasyim Asy'ari
Jombang juga termasiuk yang beristifadah (mengambil faidahi ilmu) kepada Habib
Abdullah, di antaramya dengan mengambil ijazah darinya. Sementara, dari
kalangan habaib sendiri, yang sempat beristifadah kepadanya, di antaranya Habib
Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar, Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad, Habib Ali bin
Abdiurrahman Al-Habsyi, Habib Ahmad bin Muhsin Al-Haddar.
Majelis rauhahnya di masjid Kalianyar, ia membacaakan
kitab-kitab karya Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Rauhah ini dihadiri
sekitar 60 orang.
Dikisahkan, suatu ketika, saat itu waktu menjelang datangnya maghrib, kopi yang ia siapkan dari rumah yang ditempatkan di ceret berukuran agak kecil, yang hanya cukup untuk jama'ah yang hadir, telah dlituangkan.
Dikisahkan, suatu ketika, saat itu waktu menjelang datangnya maghrib, kopi yang ia siapkan dari rumah yang ditempatkan di ceret berukuran agak kecil, yang hanya cukup untuk jama'ah yang hadir, telah dlituangkan.
Di tengah berjalannya majelis, tiba- tiba datanglah Habib
Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar dengan rombongannya, sekitar 60 orang. Maka,
Habib Abdullah menyuruh Syaikh Mubarak Jabli menuangkan kopi agar
menghidangkan¬nya kepada para tamunya.
Pada saat menuangkan kopi, Syaikh Mubarak yakin bahwa kopinya
telah habis. "Apa yang harus saya tuang? Sudah tidak ada kopi setetes pun
dalam ceret ini," begitulah kira-kira Syaikh Mubarak berkata di dalam
hati.
Kemudian Habib Abdullah mengulangi perintahnya, "Segera
tuangkan kopinya!"
Syaikh Mubarak, yang kala itu berdekatan dengan putra Habib Abdullah, yaitu Habib Muhammad, memegang kaki putranya itu sambil berbisik, 'Tolong sampaikan, ceretnya sudah kosong!"
Syaikh Mubarak, yang kala itu berdekatan dengan putra Habib Abdullah, yaitu Habib Muhammad, memegang kaki putranya itu sambil berbisik, 'Tolong sampaikan, ceretnya sudah kosong!"
Habib Muhammad menjawab, 'Turutilah perintah Al-Walid
(Ayahanda)!"
Lalu Syaikh Mubarak pun menuang-kan ceret yang diyakininya telah
kosong itu. Ternyata, atas izin Allah, tuangan demi tuangan Syaikh Jabir dapat
memenuhi seluruh cangkir yang ada. Bahkan, berlebih.
Manhaj Dakwah Rasulullah
Kembali pada qashidah taiyyah al-kubra gubahan Shahiburratib Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Dalam qashidahnya itu, Habib Abdullah mensifati beberapa keadaan para kekasih Allah. Di antaranya, ada di antara mereka yang lebih suka sembunyi atau ingin menyendiri dan ada di antara mereka yang berbaur. Kesemuanya, tak diragukan lagi, adalah para kekasih Allah.
Kembali pada qashidah taiyyah al-kubra gubahan Shahiburratib Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Dalam qashidahnya itu, Habib Abdullah mensifati beberapa keadaan para kekasih Allah. Di antaranya, ada di antara mereka yang lebih suka sembunyi atau ingin menyendiri dan ada di antara mereka yang berbaur. Kesemuanya, tak diragukan lagi, adalah para kekasih Allah.
Selanjutnya, disebutkan dalam qashidah itu, ketika Habib
Abdullah bin Alwi Al-Haddad ditanya, siapa yang paling mulia di antara para
kekasih Allah dengan segala keadaannya itu, Habib Abdullah menjawab bahwa yang
paling mulia adalah mereka yang menampakkan dirinya di jalan Allah SWT dengan mengajari
masyarakat umum, karena itulah gambaran kedudukan yang termulia. Jasadnya
bersama orang banyak, namun hatinya bersama Allah SWT.
Maka demikian pulalah yang dijalani cucu Shahiburratib ini, yang
termasuk dari golongan yang mengajar dan mengingatkan orang kepada jalan yang
benar. Karena demikian pulalah Rasulullah SAW, yang hatinya tak lagi berjarak
dengan Allah SWT, tapi juga senantiasa berada di tengah-tengah umat.
"Saya menyarankan agar mereka, orang-orang yang memiliki
wawasan ilmu yang cukup itu, berjalan dari satu desa ke desa lain untuk
berdakwah," ujar Habib Salim menjelaskan dalam majelis rauhahnya itu.
"Kenapa sasarannya desa atau daerah terpencil?" tanya
Habib Salim.
Sebab, menurut Habib Salim, "Daerah-daerah terpencil
seperti itu pada umumnya penduduknya masih banyak yang jauh dari pemahaman
agama. Sehingga, berdakwah di desa atau tem¬pat-tempat terpencil merupakan
dakwah yang tepat sasaran," kata Habib Salim.
Maka, demikian pulalah Habib Abdullah dan orang-orang
semacamnya, yang memilih kawasan terpencil, yang tak jarang penduduknya tak
tersentuh oleh dakwah.
Selain mengajar dan berdakwah, Habib Abdullah juga seorang ulama
sastrawan. Kumpulan syairnya dibukukan dalam bentuk diwan (kumpulan syair) yang
diberi nama Al-Qalaid al-Lisan HAhl al-islam wa al-lman. la juga menulis
sejumlah kitab, di antaranya Sullam ath-Thalib li A'la al-Maratib syarah Ratib
al- Haddad, Hujjah al-Mu'minin fi Tawassul bisayyidil Mursalin, Maulidil Haddad
— dalam bentuk nazham (prosa) tentang kelahiran Rasulullah SAW.
Sampai akhirnya, pada hari Jum'at sore, tanggal 15 Shafar 1331 H
di kota Bangil, ia dipanggil menghadap Sang Khaliq. la dimakamkan dekat mushallanya
yang terletak di daerah Sangeng Kramat, Bangil. Putranya yang masih hidup dan
dewasa saat wafatnya adalah Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddad, Habib Ahmad
bin Abdullah Al-Haddad, dan Habib Ali bin Abdullah Al-Haddad, seorang yang alim
dan sabar. Setiap tanggal 27 Shafar diadakan acara haul di makamnya di Sangeng
Kramat, Bangil.
Habib Abdullah memiliki beberapa sahabat akrab, di antaranya
Habib Abdul Qadir bin Alwi Assegaf Tuban, yang dikenalnya sejak usia remaja. Di
akhir umurnya, Habib Abdullah Al-Hadad berkirim surat kepada sang sahabat, yang
di antaranya berisi, "Sesungguhnya jiwa-jiwa itu saling terpaut."
Setelah Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad wafat, 27 hari kemudian
Habib Abdul Qadir wafat menyusul kepergian Habib Abdullah menuju ke haribaan
kekasih mereka, Allah SWT.
Disadur oleh M. Luqman Firmansyah dari Majalah Alkisah No.
01/Tahun XI hal. 138