Tahap Kedua Perkembangan Alawiyin

TAHAP KEDUA (a) 

Tahap ini bermula-seperti telah kami terangkan pada awal ceramah – dari abad ketujuh H hingga menghampiri abad kesembilan H.
Yakni dari masa Al Fagih Al Muqaddam hingga mendekati zaman Al-Habib Abdullah Al Haddad. Tokoh – tokoh tahap ini terkenal dengan gelar “Syekh”.
Apabila kita hendak membuat suatu perbandingan antara tokoh-tokoh masa ini, yang di antara tokoh-tokohnya adalah para Imam seperti Al Faqih Mugaddam[5] , Assegaf[6] , Al Muhdhar[7] , Al-A’idarus[8] , Zain Al-A’bidin Al-A’idarus [9] dengannya tanpa di sini patut kita kemukakan secara obyektif, bahwa tokoh-tokoh tahap ini, dalam kenyataannya yang dibuktikan melalui karya dan hasil tulisan mereka, tidaklah mencapai hasil atau kualitas puncak, baik dalam penulisan karya-karya ilmiah maupun dalam syair.

Bahkan tidak kita jumpai di antara karya mereka yang menunjukkan kejeniusan dan kehebatan dalam bidang-bidang ilmu dan kebudayaan yang dapat mengimbangi keunggulan mereka dalam bidang akhlak dan pengamalan agama. Hal itu, tampaknya, disebabkan oleh pengaruh tasawuf yang mendalam, sehingga tokoh-tokoh tahap ini tidak begitu memperhatikan untuk berkarya, baik dalam lapangan budaya maupun karya-karya ilmiah (sebab tasawuf hanya memperhatikan segi-segi keruhanian tanpa memberikan perhatian yang cukup besar terhadap segi-segi lahiriah – penerj.).

Kalaupun ada, hal itu tidak banyak di lakukan. Itu pun tanpa memperhatikan penggunaan bahasa yang indah, terpilih dan tersusun rapi dalam penampilan yang kuat. Dalam penulisan, tokoh-tokoh tahap ini sering menggunakan bahasa sehari-hari (atau dialek setempat) dalam mengungkapkan suatu hakikat, dan dengan cara apa adanya tanpa mempedulikan susunan atau gaya bahasa.

Adapun dalam bidang ekonomi, maka tahap ini telah mengalami peningkatan dibanding dengan tahap sebelumnya. Apabila tahap terdahulu kegiatannya terbatas pada bidang pertanian saja, dengan menginvestasikan kekayaan mereka hanya dalam bidang ini saja, maka Alawiyin pada tahap ini – di samping pertanian – telah juga berinvestasi di bidang perdagangan.

Mereka mendirikan pusat-pusat perdagangan di pesisir Hadramaut, Aden dan Yaman. Mereka juga mengadakan perjalanan dagang ke India dan negara-negara lain, disertai dakwah menyiarkan agama Islam. Adapun perjalanan ke Timur (negara-negara Asia Tenggara), untuk kedua tujuan tersebut, maka hal itu baru mereka lakukan kemudian (yakni sekitar abad kesebelas H. – penerj.).

Dengan cara demikian mereka perluas daerah perdagangan serta kegiatannya di dalam negeri dengan mengalirnya arus barang dan uang, yang sebelumnya kegiatan mereka hanya terbatas pada bidang pertanian saja.

Perlu dikemukakan, meskipun tokoh-tokoh Alawiyin melakukan berbagai kegiatan ekonomi, namun berkat disiplin ketat, kekuatan iman dan takwa, mereka tetap tekun dalam menjalankan ibadah, membaca wirid-wirid khusus, dan berdakwah. Allah telah berkenan memberikan berkah waktu dengan membagi masing-masing kegiatan secara cermat, sehingga dapat melakukan semua kegiatan itu dengan sempurna, sesuai keseimbangan yang digariskan oleh syari’at.

Berbicara mengenai tingkat kesufian Alawiyin tahap ini, maka seperti telah dikemukakan pada awal ceramah. bahwa “Tarekat Tasawuf” baru dikenal di hadramaut pada awal abad ketujuh H. ketika Syekh Abu Madyan – tokoh ahli Sufi dari negeri magrib (Afrika utara) mengutus muridnya yang tepercaya ke negeri Hadramaut untuk menghubungi Alfagih Al Muqaddam secara khusus dan beberapa ulama yang lain di negeri ini.

Dalam pada itu, Syekh Abu Madyan juga mengirim “khirqah” tasawuf, berupa sehelai baju yang dipakaikan oleh seorang guru (tasawuf) kepada muridnya, yang dengan demikian seorang guru berhak rnengarahkan pendidikan muridnya itu (secara tasawuf ). Melalui seorang muridnya, sebagai perantara, Syekh Abu Madyan memakaikan “khirqah” itu kepada Al Faqih Al Muqaddam.

Ketika Syekh Abu Marwan, guru Al Faqih Al Muqaddam mengetahui hal itu, ia menjadi marah, demikian juga dengan beberapa ulama Tarim yang tidak menyukai hal itu, sebab mereka khawatir akan kehilangan cita-cita dan rencana mereka untuk menokohkan Al Faqih Al Muqaddam sebagai pemimpin dan Imam. Ketika itu Alfagih Almugaddam belajar beberapa cabang ilmu dari Syekh Abu Marwan dengan acapkali menyandang senjata, bahkan kadang-kadang sambil belajar ia meletakkan pedang menyilang di atas pahanya. Orang-orang yang kurang senang dengan tindakan Al Faqih Al Muqaddam itu, mengira apa yang kelak akan dilakukan oleh Al Faqih Al Muqaddam merupakan salah satu tarekat yang hanya semata mata memperhatikan segi-segi keruhanian tanpa menghiraukan urusan duniawi.

Namun sesungguhnya Alfagih lebih bijaksana serta berpandangan jauh dan luas. Ia tidak menginginkan pengikutnya mengenakan gimbal bertambal (muragga’at), mengembara tanpa arah sebagai “darwisy” (orang ‘fakir’) yang melakukan cara-cara aneh dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, atau menjalankan latihan-latihan ruhani (yang berlebihan). Al Faqih Al Muqaddam melarang pengikutnya bertaklid buta terhadap guru, khususnya dalam hal-hal yang ada kemungkinan bertentangan dengan Alkitab dan Sunnah.

Tarekat yang dianut oleh Alfagih Al Muqaddam dan pengikutnya adalah “Atthariqah Al-Alawiyah” yang dasarnya adalah mengikuti apa yang tersurat di dalam Alkitab (Alqur’an) dan Assunnah (ajaran Nabi), meneladani tokoh-tokoh Islam kurun pertama (para sahabat dan tabi’in). Itulah yang dinyatakan di dalam kitab-kitab mereka, ceramah dan nasihat agama, dan surat menyurat mereka antara yang satu dengan yang lain, serta dikuatkan pula oleh perilaku dan tindak tanduk Salaf Al alawiyin.

Hal ini diungkapkan oleh salah seorang tokoh Alawiyin yaitu Habib Abdullah Al Haddad dalam sebuah bait syair sebagai berikut :

Berpegang teguhlah engkau dengan Kitab Allah,ikutilah Sunnah nabi Serta teladanilah para Salaf terdahulu Semoga Allah memberi engkau petunjuk-Nya

Demikian pula dinyatakan oleh Al Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi :
Demikian inilah amalan-amalan murni dari segala campuran Ditambah ilmu dan keluhuran akhlak serta wirid-wirid yang cukup banyak

Dengan demikian jelaslah, golongan Alawiyin pengikut tarekat tasawuf, tetapi tasawuf mereka tidak menghalangi untuk melakukan tugas-tugas kehidupan, baik yang bersifat kemasyarakatan (sosial), keluarga maupun pribadi.

Dalam segi tasawuf ini, Alawiyin menyerupai sahabat Nabi dan para tabi’in yang terkenal dengan kesufiannya namun tidak terhalang untuk berjihad menyebarluaskan ilmu dan dakwah. Kaum Alawiyin adalah penganut madzhab tasawuf yang berintikan sikap zuhud.
Namun zuhud tidak menghalangi mereka untuk mengumpulkan harta yang amat besar jumlahnya asal diperoleh melalui jalan yang wajar dan halal, yang kemudian disalurkan untuk kepentingan umum, menjamu tamu, mendirikan masjid dengan mencadangkan wakaf untuk pembiayaannya, menggali sumur untuk menyediakan air bersih yang sangat diperlukan, membuka dapur-dapur umur, dan mendirikan pondok pesantren untuk menyebarluaskan ilmu dan dakwah ke jalan Allah.

Mengusahakan perdamaian dan memperbaiki hubungan antara golongan-golongan yang bersengketa, bersedekah dan membantu mereka yang memerlukan bantuan. Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi penganut madzhab Syafi’i, namun mereka tidak bertaklid kepada Imam Syafi’i dalam segala hal. Dalam soal-soal tertentu, mereka meninggalkan pendapat Imam Syafi’i.

Kaum Alawiyin adalah penganut Al-Asy’ari (dalam soal-soal Tauhid), namun mereka juga meninggalkan faham Al-Asy’ari dalam beberapa hal, seperti mengenai sahnya taklid dalam soal iman. Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin sangat mengagumi karya-karya Al-Ghazali serta falsafahnya dalam bidang akhlak dan tasawuf, namun mereka tidak mengikutinya secara bertaklid buta, melainkan memperhatikan kekurangan dan kelemahan AlGhazaIi, sehingga ada diantara tokoh mereka yang mengatakan. “Di dalam kitab Ihya’ ada beberapa pernyataan seandainya dapat dihapus dengan air mata kami, kami akan melakukannya” [10]

TAHAP KEDUA (b) 

Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, sebagian mereka menyukai nyanyi dan lagu yang sehat tanpa disertai tindakan yang melanggar akhlak, apalagi minum-minuman yang memabukan, seperti yang dilakukan oleh beberapa penganut tarekat lainnya.

Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun mereka tidak berkhalwat atau melakukan latihan latihan rohani secara berlebihan dan melampaui batas. Kalaupun ada, sangatlah jarang, dan mereka melakukannya dengan cara yang tidak merusak, baik fisik maupun mental, serta bertujuan semata mata mendidik jiwa, menghilangkan sifat-sifat kelemahan dan kekotoran rohani, sebagai usaha untuk menyucikan diri dari kungkungan nafsu angkara murka dan syahwat.

Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun tasawuf mereka tidak melarang tokoh-tokoh besar dan ulama mereka menduduki jabatan-jabatan penting: sebagai hakim, pemberi fatwa (Mufti), guru-guru besar, atau usahawan dalam bidang pertanian, perdagangan atau pertukangan, baik sebagai pimpinan maupun pelaksana lapangan.

Alfagih Al-Muqaddam – misalnya – bapak Alawiyin dalam tasawuf, mungkin kita tidak pernah mengira bahwa Alfagih bertindak mengurusi perkebunan dan sawah ladangnya sendiri, mengatur rumah tangga dan keluarga, bahkan kadang-kadang berbelanja sendiri ke pasar. Kita mungkin tidak pernah rnembayangkan bahwa perkebunan Alfagih ini terdiri dari ribuan batang pohon kurma dan buah kurma hasil perkebunan itu – seperti di riwayatkan di dalam Silsilah Al A’idarusiyah – adalah sekitar 360 guci (zier). setiap guci berisi sekitar 1800 rathl (kati).

Penulis kitab Al masyra’ Ar rawiy bercerita tentang kekayaan Al-habib Abdullah bin Alawi Al-Ghuyur.[11] cucu Al-faqih Al-Muqaddam (wafat 731 H.) Abdullah bin Alawi Al-Ghuyur ini telah mewakafkan untuk masjid Bani Alawi di Tarim seharga 90.000 dinar. Ia mempunyai daftar tetap yang didalamnya tercatat nama orang-orang yang memerlukan bantuan, selain hadiah-hadiah yang diberikan kepada para penyair.

Kendati demikian, ditinjau dari segi tasawuf dan ibadahnya, hampir tidak ada orang yang dapat menandinginya. Sedang dari ilmu, telah dicatat bahwa dia pernah berguru kepada seribu orang Syekh (guru) terdiri dari ulama-ulama Yarnan, Hadramaut, Hijaz, Irak dan Maghrib(Afrika Utara).

Demikian pula dengan Habib Abdurrahman Assagaf, betapapun banyak kegiatan dan kesibukannya dalam rnengerjakan wirid, zikir dan rnengajar, namun memiliki perkebunan dan sawah ladang yang luas sekali serta meminta laporan tentang biaya-biaya yang dikeluarkan oleh, para pekerjanya, pada waktu antara maghrib dan isya’, seperti diriwayatkan oleh Alkhathib, penulis kitab Aljauhar.

Pohonpohon kurmanya amatlah banyak, tidak sedikit di antara pohon-pohon itu yang ditanam dengan tangannya sendiri, sambil membaca surat YaSin pada setiap pohon yang ditanamnya.
Habib Umar Al Muhdhar putra Habib Abdurrahman Assaqaf, adalah seorang ulama besar yang diyakini sebagai seorang wali Allah, namun tergolong seorang yang cukup kaya, yang kekayaannya di antaranya adalah kapal-kapal, tanah-tanah pertanian, kebun kurma dan lain-lain, seperti diterangkan semua itu di dalam surat wasiatnya.

Demikian pula dengan Imam Abubakar Al-A’dani, putra Habib Abdullah Al-A’idarus (yang makamnya cukup terkenal di kota Aden ) tergolong seorang hartawan di zamannya.Setiap hari memotong 30 ekor kambing untuk menjamu para tamu dalam berbuka puasa seperti dicatat oleh penulis biografinya.Imam Abu Bakar Al-A’dani telah melunasi hutang ayahnya setelah wafat sebanyak 30 ribu dinar. Imam Abu Bakar Al-A’dani wafat 914 H.

Demikian pula halnya dengan keturunan Habib Abdullah bin Syekh Al-A’idarus (keponakan al-A’dani ), yang banyak berhubungan dengan raja-raja India. Kita akan kagum mempelajari riwayat hidup mereka, sebab di samping hasil karya ilmiah yang mereka cipta dan perbaikan sosial yang mereka lakukan serta ketekunan mereka di bidang ilmu dan ibadah, tokoh-tokoh ini mampu memiliki kekayaan yang demikian besar, menandingi para raja dan pangeran.

Sedang sebagian besar kekayaan itu, dinafkahkan untuk perbaikan sosial dan kepentingan umum.[12] Jadi, faharn tasawuf yang dianut oleh golongan Alawiyin adalah ajaran tasawuf yang wajar dan sehat, tidak membawa pengikutnya menjurus kepada fanatisme dan jumud (kebekuan) atau menjurus kepada ekstrimisme dan ingkar. Ajaran tasawuf mereka merupakan sikap tengah yang memelihara keseimbangan dalam semua segi.

Perlu kiranya dicatat disini, bahwa apa yang dihubungkan kepada tokoh-tokoh Alawiyin berupa latihan amat banyak secara umum tidak mampu dilakukan manusia biasa serta bertentangan dengan naluri yang wajar, baik itu berupa tidak tidur siang malam untuk beberapa tahun lamanya berhenti makan dan minum berpuluh-puluh hari secara terus menerus, maupun mengkhatamkan pembacaan Alqur’an beberapa kali di waktu siang dan beberapa kali di waktu malam. Hal – hal semacam itu hanyalah merupakan tindakan-tindakan khusus yang hanya mampu dilakukan oleh orang-orang tertentu saja yang memang diberi kemauan dan kemampuan oleh Allah, di samping adanya kesediaan batin untuk melakukannya.

Hal-hal semacam ini memang tidak dapat dilakukan oleh selain mereka sebab sifatnya yang khusus dan merupakan pengecualian dan yang umum. Bahkan lingkungan mereka sendiri memandang hal itu sebagai sesuatu yang aneh, sehingga apabila ada yang menceritakannya, hanyalah sekadar menyatakan rasa kagum terhadap sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi hal-hal semacarn itu boleh saja digolongkan sebagai “karamah” yang telah diuraikan oleh ulama (tasawuf) secara jelas.

Perlu pula dicatat di sini, bahwa pernyataan-pernyataan yang kadang-kadang diucapkan oleh beberapa tokoh Alawiyin tertentu – seperti dicatat oleh sebagian penulis sejarah terdahulu yang pada lahirnya bertentangan dengan prinsip-prinsip syara’, dan yang terkenal dengan sebutan syathahat adalah bukan karena mereka telah meyakini faham “wahdatul wujud” (panteisme), bukan pula untuk menyatakan kesombongan dan membanggakan diri, seperti dituduhkan oleh sementara orang. Sebab kebersihan pribadi dan kejujuran tokoh-tokoh itu cukup dikenal dalam sejarah.

Pada hakikatnya, pernyataan-pernyataan itu dilontarkan pada saat mereka dalam keadaan ganjil dan luar biasa, di mana mereka berada dalam suasana tak sadar (keadaan fana), sehingga apa yang diucapkan itu dapatlah dimaafkan, dan tidak dapat dicatat sebagai pelanggaran yang mengakibatkan dosa, apalagi kufur. Betapa pun juga, tidaklah sepatutnya hal-hal seperti itu disiarkan, mengingat mereka sendiri pun tidak rnenyukainya.


  • Organisasi Alawiyin “An Naqabah” 


Pada tahap pertama sejarah perkembangan Alawiyin, sebelum bercabang-cabang dan bersuku-suku, kaum Alawiyin tidak merasa perlu untuk membuat suatu sistem sosial khusus sebagai pengatur kehidupan mereka.

Cukuplah bagi golongan ini untuk mempunyai seorang atau beberapa orang pemimpin yang secara otomatis diakui sebagai pemimpin keluarga atau marga. Baru pada tahap kedua dalam sejarah perkembangan Alawiyin, setelah menjadi banyak dan tersebar ke berbagai daerah terasalah bagi tokoh Alawiyin guna membela dan memelihara kedudukan dan kepentingan mereka, melindungi kehormatan serta memecahkan problema yang timbul, baik yang bersifat intern maupun ekstern.

Sistim ini dikenal dengan sebutan ”Naqabah”. Sistem ini baru diadakan pada zaman Habib Umar Al-Muhdhar, yakni pada akhir abad kesembilan Hijriah, di mana Habib Umar Al Muhdhar sekaligus terpilih sebagai Naqib. Dewan “Naqabah” ini terdiri dari sepuluh anggota yang dipilih. Setiap anggota mewakili kelompok keluarga atau suku dan dikukuhkan oleh 5 orang sesepuh suku itu dan menjamin segala hak dan kewajiban yang dibebankan atas wakil mereka, sebagai tersirat di dalam teks piagam yang disetujui oleh tokoh-tokoh Alawiyin dan pernah dimuat di majalah Al-Jam’iyah, nornor 8, tahun 1357 H.

Dewan yang terdiri atas 10 anggota ini rnengatur segala sesuatu yang dipandang perlu sesuai kepentingan, dan bersesuaian pula dengan ajaran syari’at Islam serta disetujui oleh pemimpin umum. Apabila keputusan telah ditetapkan maka diajukanlah kepada pemimpin umum (atau Nagib) untuk disahkan dan selanjutnya dilaksanakan.

Dengan demikian jelaslah, sepuluh orang anggota dewan masing-masing merupakan wakil-wakil atau naqib-naqib dari setiap kelompok atau suku, sedang wakil-wakil itu dipimpin oleh “Naqib Annaqabah” [atau Naqib para Naqib] yang kemudian dikenal pula dengan sebutan “Nagib Al-Asyraf”. Setiap anggota dewan sangat patuh dan taat terhadapnya. Dan kepadanya pula dikembalikan segala problema, serta pelaksanaan organisasi dan perbaikan, di samping ia merupakan lambang kekuatan, kesepakatan, wibawa dan pengaruh Alawiyin.

Dalam memecahkan persoalan yang dihadapi, lembaga ini akan menempuh cara damai. Namun jika tidak berhasil, maka digunakanlah cara boikot, yaitu Nagib memutuskan hubungan dengan orang-orang yang dianggap melakukan pelanggaran atau membangkang, dengan cara menolak berjabat tangan (bersalam-salaman) maupun dengan cara-cara lain.

‘Tindakan Naqib akan diikuti semua Alawiyin, sehingga orang itu kembali kepada jalan yang benar. Apa yang kami tuturkan ini adalah bersumberkan piagam yang telah kami sebutkan, di atas dan ditetapkan oleh Alawiyin pada zaman Habib Umar Al Muhdhar, dan didukung dan dibubuhi tanda tangan Sultan Tarim ketika itu, yaitu Sultan bin Duais bin Yamani. Sultan ini berjanji akan membantu terlaksananya ketentuan-ketentuan yang termaktub di dalam piagam itu, yang diikuti pula oleh tanda tangan seluruh naqib (anggota dewan) beserta pendukungnya yang jumlah keseluruhan tidak kurang dari 50 orang.

Patut disayangkan bahwa teks piagam ini tidak rnenyebutkan tanggal dan tahun penulisannya dan juga tidak menyebut urut-urutan nama (daftar) para nagib yang pernah menduduki jabatan itu, namun dengan membaca kembali kitab-kitab biografi Alawiyin, seperti kitah Al-Masyra ‘Arrawiy dan lain-lain, menerangkan bahwa di antara para Naqib yang terkenal, antara lain adalah Habib Abdullah Al-A’idarus Al-Akbar (wafat 865 H.). Sebab setelah Habib Umar Al Muhdhar wafat, tokoh-tokoh Alawiyin telah sepakat untuk mengangkat Muhammad bin Hasan bin Asad Allah, yang terkenal dengan gelar Jamalullail untuk diangkat sebagai Nagib, namun ia menolak dan menunjuk Habib Abdullah Al-A’idarus sebagai gantinya, yang saat itu masih berusia muda, tetapi telah menunjukkan kemampuan untuk memangku jabatan tersebut.

Akhirnya – setelah pertamanya menolak juga – Habib Abdullah Al-A’idarus menerima. Pengganti A1-A’idarus adalah Imam Ahmad bin Alawi Bajahdab yang wafat tahun 973 H. Berikutnya Habib Abdullah bin Syekh bin Abubakar Al-A’idarus (wafat 1019 H.), kemudian putranya bernama Habib Zainal Abidin (wafat 1041 H.). Adapun pada masa-masa selanjutnya saya tidak menemukan catatan sejarah yang menegaskan adanya seorang Naqib yang dipilih, meskipun kadang-kadang terjadi kepemimpinan seorang tokoh Alawiyin semata-mata karena daya tarik kharisma dan kekuatan pribadinya di samping memang memenuhi persyaratan untuk jabatan sebagai Naqib.

Pada masa-masa selanjutnya telah timbul pula sistem “Manshabah”, yang tersebar luas di beberapa daerah Hadramaut. Tugas “Munshib” pada dasarnya adalah mendamaikan sengketa yang terjadi antara suku-suku yang memanggul senjata, menyebarluaskan ilmu dan dakwah, menjamu para tamu yang datang berkunjung. Soal ini akan dibicarakan lebih luas lagi kemudian.

Pernah pada masa akhir-akhir ini muncul seorang tokoh yang mengungguli tokoh-tokoh Alawiyin yang lain dalam ilmu, pengaruh dan kedermawanannya, yaitu pribadi Habib Muhammad bin Thahir Al-Haddad (wafat 1316 H.) sehingga sepakatlah tokoh-tokoh Alawiyin untuk mengangkatnya sebagai Nagib. Mereka telah menandatangani piagam untuk pengangkatannya itu.

Namun ada seorang tokoh yang cukup terkenal dan berpengaruh tidak menyetujui pengangkatan itu. Yaitu Habib Husein bin Hamid Al-Muhdhar, sehingga rencana itu akhirnya gagal . Ada pula riwayat yarg menerangkan, selain Habib Husein tersebut ada dua tokoh lain yang tidak menyetujui. Dengan demikian maka yang bersikap oposisi terhadap pengangkatan itu hanya tiga orang saja, namun mereka orang-orang yang cukup kuat, sehingga golongan oposisi yang kecil itu dapat rnengalahkan mayoritas yang menyetujui. Barangkali, seandainya pengangkatan Al-Haddad sebagai Nagib ini terlaksana, tokoh ini akan mampu menarik Alawiyin kembali kepada cara hidup pendahu pendahunya, serta menghidupkan tradisi-tradisi mulia yang hampir hilang.

(bersambung ke tahap ketiga perkembangan Alawiyin)

Postingan populer dari blog ini

Al-Habib Muhammad Bin Husein Al-Aydrus (Habib Neon)

Al-Haddad